Saturday, November 21, 2009

Resensi Buku: 40 Bisnis dan Investasi yang Menggiurkan


Judul: 40 Bisnis dan Investasi yang Menggiurkan
Penulis: Agung Budi Santoso
Penerbit: Panta Rei
Tebal: 253 Halaman
Terbit: November 2007


Kini semakin banyak orang yang berminat untuk memiliki usaha sendiri. Bahkan orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap pun selalu mencari peluang untuk menambah pendapatan dengan cara ini. Bisnis yang dilakukan tidak perlu terlalu besar, tetapi yang penting dapat memberikan income tambahan yang memuaskan setiap bulannya.

Namun orang acap kali harus memutar otak untuk menentukan jenis usaha yang akan digelutinya. Mereka tidak mengetahui jenis usaha seperti apa yang cocok dilakukan, baik dari segi modal maupun keuntungan yang akan diraih. Akhirnya mereka menemukan jalan buntu.
Sebetulnya banyak sekali peluang bisnis yang dapat dilakukan. Bahkan mungkin peluang itu ada di sekitar lingkungan sendiri, baik lingkungan rumah atau kantor. Namun ironisnya peluang itu sering luput dari tangkapan ”indera ke enam” bisnis seseorang. Akibatnya, jutaan rupiah yang sebenarnya dapat mengalir ke dalam kantong malah hilang begitu saja. Hal yang menyedihkan, peluang yang ada di depan mata justru disambar oleh orang lain.

Hal itulah yang sebetulnya ingin disampaikan dalam buku 40 Bisnis dan Investasi Menggiurkan ini. Buku ini seperti ingin menunjukkan bahwa

peluang berbisinis dan berinvestasi sesungguhnya masih sangat terbuka terbuka lebar, mulai dari bisnis berisiko rendah, hingga bisnis dengan risiko lebih tinggi.

Tidak hanya itu, penulis menyampaikan bahwa dari hal yang terkesan sepele, ternyata dapat dimulai sebuah bisnis yang hasilnya tidak dapat dikatakan kecil. Salah satu contoh bisnis yang ditawarkan penulis adalah bisnis kliping. Siapa pernah menduga bahwa bisnis ini ternyata cukup menjanjikan. Hanya dengan bermodal berlangganan koran, majalah dan tabloid, atau bahkan membeli bekas secara kiloan, seseorang dapat menghasilkan jutaan rupiah dari kliping yang dikumpulkannya.

Bisnis lain yang juga tidak bermodal banyak namun bisa menjadi andalan dalam mencari pendapatan tambahan adalah lahan parkir. Dengan modal utama lahan kosong saja, seseorang dapat memulai usaha lahan parkir. Apalagi lokasi lahan kosong yang dimiliki sangat dekat dengan kantor, pertokoan, atau sekolah yang tidak memiliki lahan parkir yang memadai.
Masih banyak lagi bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini, mulai dari berjualan bubur ayam, es campur, waralaba, invetasi emas, hingga bermain saham. Namun secara garis besar buku ini membagi bisnis dan investasi menjadi empat bagian.

Bagian pertama mengupas bisnis dan investasi yang berkaitan dengan jasa. Bisnis yang berkaitan dengan bidang ini diantaranya adalah sebagai penulis artikel, penulis buku, penerjemah, penulis skenario, waralaba laundry hingga penyewaan alat pesta.

Bagian ke dua membahas bisnis yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Di dalamnya dikupas bisnis katering, jus, toko oleh-oleh, hingga warung STMJ. Pada bagian ke tiga diuraikan berbagai investasi untuk melipatgandakan uang, mulai dari mini market, reksadana, bermain saham, sampai investasi dalam bentuk emas. Sedangkan pada bagian ke empat dipaparkan bagaimana membuka keran uang dengan bisnis budidaya dan kerajinan. Di sini dibahas bisnis-bisnis seperti beternak ikan cupang, kolam pemancingan ikan, beternak lele, tanaman hias hingga usaha florist.

Menariknya, setiap bisnis yang dibahas dalam buku ini disertai ilustrasi biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapat. Dengan demikian pembaca akan lebih mudah mengukur dan mendapatkan gambaran dari bisnis yang akan dijalankan.

Berbagai jenis bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini memberikan inspirasi pada pembacanya bahwa peluang bisnis masih terbuka lebar. Siapa pun dapat melakukannya, tergantung isi kocek tentunya. Namun, yang paling penting adalah, buku ini mengajarkan bahwa kejelian melihat peluang merupakan kunci sukses setiap bisnis maupun investasi yang dilakukan.***


(ulas-buku.blogspot.com)
Baca Selengkapnya Di Sini »»

Resensi Buku: Hidup tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan


Judul : Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya
Tebal : 1330 halaman
Cetakan : Januari 2008

Ajip Rosidi memang tokoh luar biasa. Ia bukan orang baru dalam jagat sastra Indonesia. Pemikirannya telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun siapa sangka, guru besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing), Jepang, ini bahkan tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di dalam buku ini Ajip mengisahkan, alasan mengapa ia tidak memiliki ijazah sekolah menengah.

Kejadiannya bermula ketika ujian nasional sekolah menengah ditahun 1956, dikabarkan sering mengalami kebocoran soal. Banyak orang yang dapat memperoleh soal ujian sebelum waktu ujian tiba. Tentu saja, caranya dengan menyogok guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi memilih untuk tidak mengikuti ujian sekolah menengah. Baginya, hidup tidak harus digantungkan pada secarik kertas bernama ijazah. Prestasi kerja, kemampuan dan pengakuan masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan seseorang dapat bekerja atau tidak.

Oleh karena itu, Ajip yang saat itu sudah memperoleh pengalaman mengajar dan menulis sastra, merasa tidak memerlukan ijazah lagi. Ia ingin membuktikan bahwa

seseorang dapat hidup tanpa ijazah. Keinginannya tersebut ia kemukakan kepada kepala sekolahnya.

Dari sisi yang lain, Ajip dapat digolongkan sebagai seseorang yang berani untuk mengungkapkan gagasan dan opininya mengenai sesuatu. Ia selalu bicara langsung pada inti persoalan, tanpa ditutup-tutupi, jika ada hal yang ingin disampikan. Ia bahkan seperti tidak memedulikan siapa orang yang sedang diajaknya bicara. Apalagi kalau dirinya yakin apa yang dikemukakannya adalah sesuatu yang benar.

Misalnya saja ketika ia mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal roman psikologis yang disampaikan oleh guru Kesusateraan Indonesia di sekolah menangah. Ketika itu Ajip mengemukakan argumentasinya. Namun belum selesai ia bicara, guru tersebut membentak dan menyuruhnya keluar. Sayang, pada bagian ini Ajip tidak menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut. Apakah ia benar-benar keluar dari kelas, atau tetap berada di dalam kelas dan mempertahankan argumentasinya.

Keberanian Ajip tersebut terus terbawa saat ia berkiprah sebagai satrawan. Misalnya saja ketika ia menuliskan karangannya di Sipatahaoenan. Ketika karangan tersebut dimuat, reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan. Kala itu ia mendapat serangan dari banyak sastrawan Sunda. Namun semua itu ditanggapinya dengan nada mengolok-olok. Tujuan Ajip tentu bukan sekadar mengolok-olok, tetapi ia ingin ada geliat baru dalam kesusatraan Sunda.

Nada serupa juga terlihat ketika Ajip menanggapi rencana rektor Universitas Padjadjaran untuk memberikan gelar penghormatan. Namun hingga melewati batas waktu yang direncanakan, tidak juga ada kejelasan soal pemberian gelar kehormatan tersebut. Akhirnya, pidato yang dipersiapkan untuk menerima gelar kehormatan itu dimasukkan ke dalam buku yang diterbitkan untuk menyambut 70 Tahun Romo dick Hartoko yang sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut, Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia tidak memerlukan gelar penghargaan. Selama ini ia sudah hidup cukup baik tanpa gelar apa pun. Ketika temannya meminta Ajip untuk menelusuri surat rahasia dari Menteri Pendidikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi, Ajip menolak dan dengan tegas. Ia mengatakan, dirinya tidak membutuhkan gelar itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak banyak artinya. Gelar kehormatan itu tidak akan menaikkan gajinya di Jepang, dan tidak akan membuatnya lebih terkenal.

Salah satu gagasan penting Ajip Rosidi dalam kesusasteraan adalah pemberian penghargaan Rancage. Hadiah ini diberikan khusus kepada karya-karya sastra berbahasa daerah. Pada awalanya penghargaan tersebut hanya diberikan kepada karya sastra Sunda. Namun pada perkembangannya, hadiah Rancage tidak hanya diberikan kepada sastra berbahasa Sunda, tetapi juga bahasa daerah lainnya seperti Sastra Jawa dan Sastra Bali.

Ajip mejelaskan, pemberian hadiah Rancage adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa kerja keras para penulis sastra daerah mendapat perhatian yang layak, dan dihargai. Kata Rancage sendiri diambil dari carita pantun yang berarti aktif-kreatif.

Di samping gagasan dalam sastra dan kebudayaan, hal yang juga menarik dari buku ini adalah penggalan-penggalan cerita dari sejumlah orang yang pernah berinterkasi dengan Ajip. Mereka bisa keluarga, kerabat, satrawan, pejabat atau tokoh politik yang pernah bertemu dengannya. Dari sinilah pembaca dapat mengetahui kisah-kisah yang bersifat human interest dari tokoh tersebut.

Salah satu orang dikisahkan oleh Ajip adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini Ajip memaparkan bahwa Pramoedya adalah orang yang sangat egosentris. Buktinya Pramoedya mengajak istrinya untuk tidak tinggal bersama mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang kaya yang memiliki banyak rumah, namun Pramoedya memilih untuk tinggal di rumah petak beralas tanah di kawasan Rawamangun, Jakarta, bersama istrinya. Padahal, menurut Ajip, mungkin baru saat itulah Maemunah, istri Pramoedya, untuk pertama kalinya tinggal di rumah beralas tanah.

Masih kisah di seputar Pramoedya, Ajip menceritakan bagaimana di masa Pram mengalami krisis keuangan, ia mendapat order untuk menerjemahkan karya utama Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip, tidak mengherankan jika Pramoedya sampai beranggapan bahwa orang yang membantunya ketika mengalami kesulitan adalah orang kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah majalah tidak mau lagi memuat tulisan-tulisannya, dan beberapa penerbit mengembalikan hak penerbitannya serta berhenti mencetak buku-buku Pram.Buku Hidp Tanpa Ijazah ini memang menarik untuk dibaca. Gaya bertutur Ajip yang khas, tulisan yang enak dibaca, dan isi yang kaya, membuat pembaca tidak bosan untuk membaca buku ini hingga akhir, seperti menyusuri lorong kenangan yang sarat dengan kisah dan cerita hidup. ****


(ulas-buku.blogspot.com)
Baca Selengkapnya Di Sini »»

Resensi Buku: Semua berawal dari Keteladanan, Catatan Kritis Rosihan Anwar


Judul: Semua Berawal dengan Keteladanan, Catatan Kritis Rosihan Anwar
Penulis: Rosihan Anwar
Tebal: xx + 515 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: Mei 2007

Setiap penulis kolom memiliki gaya penulisan yang khas. Ada penulis yang menyajikan tulisan secara “berat”, sebut saja seperti Goenawan Mohammad, ada yang bergaya ceplas-ceplos seperti Harry Roesli, ada juga yang bergaya segar dan jenaka seperti Mahbub Djunaidi.
Setiap gaya tulisan boleh-boleh saja beda. Namun jika diamati, ada kesamaan di antara penulis-penulis tersebut. Kesamaan itu adalah, semua penulis tersebut sangat kaya dengan pengalaman, memiliki pengetahuan yang luas, serta kejelian dalam menangkap persoalan yang ada di sekitarnya.


Begitu pula dengan Rosihan Anwar. Ia adalah seorang penulis yang memiliki ciri-ciri seperti di atas. Rosihan Anwar adalah penulis yang kaya dengan berbagai pengetahuan, mulai dari pengetahuan sejarah, sastra, kebudayaan, filsafat, hingga politik. Seperti diungkapkan oleh Julius Pour dalam pengantar buku ini, semua pengetahuan itu membuat Rosihan Anwar dapat

berpikir secara runtut dan memakai bahasa yang jernih.


Ditambah lagi, profesinya sebagai wartawan memungkinkannya mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang dari berbagai kalangan, mulai dari rakyat kecil, pejabat, tokoh-tokoh berpengaruh, sampai pesohor. Di sisi lain ia juga berkesempatan menjadi saksi langsung berbagai peristiwa penting.


Hal-hal itulah yang membuat tulisan-tulisan Rosihan Anwar menjadi lebih kaya, penuh warna, dan tampak penguasannya terhadap kompleksitas persoalan dan kemajemukan setiap permasalahan. Tidak heran jika pembaca merasa betah berlama-lama membaca tulisannya. Padahal bukan tidak mungkin persoalan yang disampaikan dalam tulisannya adalah masalah yang cukup serius. Begitu pula tulisan-tulisannya dalam buku Semua Berawal dengan Keteladanan.


Semua Berawal dengan Keteladanan adalah kumpulan kolom Rosihan Anwar yang muncul di tabloid Cek & Ricek. Nama kolom tersebut adalah Halo Selebritis. Seperti lazimnya tabloid hiburan, Cek & Ricek pun berisi berbagai berita seputar selebritis dan dunia hiburan. Namun begitu, tabloid ini masih menyisakan ruang untuk diisi oleh tulisan-tulisan yang memberikan pengayaan kepada pembacanya, itulah kolom Rosihan Anwar. Tidak mengherankan jika kolom ini adalah salah satu tulisan yang selalu ditunggu pembacanya setiap minggu.


Membaca buku ini yang diterbitkan untuk memperingati 85 tahun Rosihan Anwar dan 60 tahun usia perkawinannya dengan Siti Zuraida Sanawi ini, kita dapat melihat bagaimana wartawan tiga jaman itu memandang berbagai persoalan yang ada di masyarakat, mulai dari persoalan kebudayaan, sosial, pers, politik sampai ekonomi. Cara pandang Rosihan Anwar itu sangat beragam, ia dapat saja mengacungkan jempol, geleng-geleng kepala, mengritik pedas, bersikap sinis atau pun mengejek. Kesemuanya disampaikan secara terbuka atau blak-blakan.
Ketika Polri berhasil menangkap Imam Samudra dan Amrozi tersangka peristiwa pemboman di Bali misalnya, Rosihan Anwar secara terbuka memuji prestasi tersebut. Namun, ketika ia menilai para selebriti, entah pelawak ataupun penyanyi rock, yang tiba-tiba di bulan Ramadhan sering muncul membawakan acara agama di malam atau subuh hari, ia seperti menyimpan tanda tanya. Bahkan Rosihan Anwar mempertanyakan, apakah kalau sudah menjadi terkenal seseorang bisa begitu saja dipakai dalam acara dakwah? (hal. 209).


Menariknya, Rosihan pun tidak pernah pandang bulu dalam melancarkan kritik. Pejabat, birokrat atau pun artis, bisa saja dikritiknya terang-terang. Bahkan presiden pun tidak lepas dari sasaran kritiknya, misalnya saja secara terang-terangan ia mengatakan bahwa dalam hal KKN, Gus Dur sudah sami mawon dengan mantan Presiden Soeharto (hal. 35). Begitu pula ketika ia berkali-kali mengritik Presiden Megawati.


Kolom-kolom Rosihan Anwar pun menjadi lebih menarik untuk dibaca karena banyak sekali “sejarah kecil” yang disisipkan dalam kolom-kolom ini. Meskipun dikatakan “sejarah kecil” namun hal tersebut justru memperkaya tulisan sejarah yang ada. Misalnya dalam tulisan yang berjudul Dewi Rais Punya Cerita, Pertanyaan Bisa Bikin Ibu Mega Sebel, Rosihan menulis bagaimana Presiden Soekarno marah kepada Dewi Rais, istri Letjen (Purn.) Rais Rabin. Ketika itu Dewi Rais dan pengurus PWI yang diketuai Mahbub Djunaidi (almarhum) berkunjung ke Istana Bogor. Sesampainya di sana Presiden Soekarno menyalami semua tamu yang datang. Namun yang menggelikan ia ngambek dan tidak mau bersalaman dengan Dewi Rais.
Tidak hanya itu, Presiden Soekarno komplain kepada Kolonel Hidayat (kala itu masih berpangkat kolonel), ayah Dewi Rais, yang menjabat Panglima Tinggi TNI di Sumatera pada masa clash ke dua dan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Kala itu, seperti dikutip Rosihan Anwar, Presiden Soekarno berkata “ Zeg, suruh jouw dochter itu jangan tulis yang bodoh-bodoh.”


Kemarahan Soekarno ternyata dipicu oleh tulisan Dewi Rais dalam surat kabar Api Pancasila yang mengritik ucapan Presiden Soekarno seputar Gestapu. Waktu itu Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gestapu merupakan druppeltje in de ocean (sebuah riak kecil dalam lautan samudera).


“Sejarah kecil” seperti itulah yang sebenarnya dapat membuat sejarah lebih hidup dan tidak kering, sehingga lebih menarik minat orang untuk membaca. Oleh karena itulah Rosihan juga pernah menerbitkan buku Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (2004).
Pendek kata kolom-kolom Rosihan Anwar tidak hanya sebuah komentar kritis terhadap persoalan yang terjadi setiap waktu, tetapi juga sebuah catatan kritis yang diracik sedemikian rupa sehingga “sedap” untuk dinikmati.***


(ulas-buku.blogspot.com)
Baca Selengkapnya Di Sini »»

Resensi Buku: Presiden Guyonan


Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008
Sebuah surat kabar memuat ratusan berita setiap harinya. Berbagai peristiwa dihadirkan ke hadapan pembaca.secara bertubui-tubi. Isu demi isu terus berganti setiap minggunya. Nyaris tidak ada isu yang dapat bertahan lama. Pembaca pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media massa yang selalu mengutamakan aktualitas. Aktualitas dan kecepatan menyiarkan sebuah berita menjadi menjadi sebuah keharusan. Padahal kedalaman sebuah berita juga diperlukan agar dimensi-dimensi dari sebuah berita dapat ditangkap oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah cara agar isu-isu yang mengemuka di media masa tidak terlindas begitu saja oleh isu-isu lain yang terus menjejali ruang pikiran pembaca. Cara ini harus dapat mengajak pembaca untuk melihat dimensi-dimensi lain dari sebuah peristiwa, merenungkan, merefleksikan, dan bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di surat kabar. Kolom tidak hadir dengan perhitungan kecepatan dan aktualitas, meskipun persoalan yang dikemukakan dapat saja merupakan sesuatu yang aktual, tetapi selalu mengajak pembaca untuk sejenak melongok peristiwa tersebut dan memberikan diri untuk merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini kolom harus hadir dengan format dan caranya yang berbeda dan khas. Di sinilah kepiawaian seorang penulis kolom dibutuhkan, dan Butet Kartaredjasa telah memilih

caranya sendiri untuk mengajak pembaca melihat secara reflektif realitas yang ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca merenungkan persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat, Butet menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat mengundang pembaca tersenyum atau bahkan tertawa. Kolom-kolomnya tidak hadir dengan cara yang memberat karena ia tahu, apabila persoalan yang disampaikannya saja sudah berat, maka tidak perlu lagi memberikan beban kepada pembaca dengan menghadirkan tulisan-tulisan yang sulit diicerna. Di sinilah letak salah satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di Semarang ini adalah hadirnya tokoh Mas Celathu bersama anggota keluarganya, yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh inilah Butet menyajikan isu-isu penting yang mungkin terlupakan dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu memang sangat dominan dalam kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok inilah Butet menyampaikan buah pikirannya. Tokoh ini digambarkannya sering muncul dengan kegelisahan-kegelisahan, kegeraman-kegeraman, dan bahkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri, yang merupakan respon dari apa yang dilihat dan dicermati dari lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya sosok sederhana yang terkadang terkesan selalu bebas berbicara, tukang njeplak, dan tajam dalam mengritik, tapi juga sering muncul dengan gagasan yang melawan mainstream. Sebut saja ketika ia bicara soal gay dan lesbian dalam kolomnya yang berjudul Psikopat Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan bagaimana Mas Celathu mencoba meluruskan anggapan umum masyarakat mengenai para gay dan lesbian yang terlanjur diberi cap negatif. Mas Celathu digambarkan mengajak masyarakat untuk menghargai keberadaan kelompok ini. Gay dan lesbian tidak selalu identik dengan pembunuhan kejam, mutilasi atau berbagai kejahatan lain. Justru mereka yang berprofesi mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun acap kali tergoda dan ”gatal” untuk memberikan komentar, tanggapan, pujian ataupun ejekan dari apa yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai dengan istilah celathu, yang dalam bahasa Jawa dapat berarti nyeletuk, menyahut, atau "menyambar" omongan orang lain. Alhasil, dengan cara yang jenaka, pentolan teater Gandrik ini, mengritik dan mengolok-olok berbagai kejadian atau keadaan yang menurutnya tidak tepat, melanggar aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu memoisisikan Mas Celathu sebagai pengritik yang selalu bersih sehingga seakan-akan punya otoritas menunjuk kesalahan orang lain alias menghakimi. Di sisi lain justru ia menghadirkan Mas Celathu sebagai sosok yang manusiawi, yang sering khilaf, berbuat kekliruan, yang terkadang justru terjebak dalam kondisi atau persoalan yang sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan Mas Celathu tergoda untuk "berbisnis" di lokasi yang tertimpa bencana alam. Ia melihat di lokasi bencana alam inilah ia bisa meraup keuntungan dengan berdagang berbagai benda yang dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana alam. Namun ide tersebut dimentahkan begitu saja oleh sang istri. Sang istri menilai gagasan tersebut tidak etis karena mencari keuntungan di atas kesusahan orang lain. Diserang seperti itu, Mas Celathu pun mengkeret tak berkutik. Rupanya Mas Celathu yang doyan memarahi penguasa pun bisa tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom dalam Presiden Guyonan ini adalah bagaimana Butet memakai istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar saja, sebab kolom ini memang hadir di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Tetapi toh persoalan yang disampaikan bukan persoalan primordial, tetapi persoalan yang lebih luas lagi spekttrumnya, persoalan. Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa justru membuat kolom ini lebih hidup, lebih "berbumbu" sehingga unsur humor yang dibangun di dalamnya lebih kental. Mereka yang tidak terlalu paham bahasa Jawa dapat melihat arti atau makna dari istilah-istilah tersebut di bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Butet tersebut, mengingatkan kita kepada kolom-kolom almarhum Umar Kayam yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Dalam kolom-kolom tersebut Umar Kayam juga menggunakan istilah-istilah Jawa yang begitu mengena. Dengan istilah-istilah itu justru sendirian, ejekan, ataupun kritik yang dilontarkan menjadi lebih "ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet ini adalah, ia menggunakan "logika terbalik" untuk memaknai masalah-masalah yang ditulis. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, apabila sebuah persoalan dipandang serius, seseorang cenderung merseponnya dengan serius pula. Bahkan, sejumlah teori Barat--baik teori politik, ekonomi atau sosial--digunakan untuk memaknai dan mencarikan jalan keluar dari persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia justru merseponnya dengan cara yang ringan, sederhana, bahkan cenderung melucu. Persoalan-persoalan yang ada selalu dihampirinya dengan cara yang membuat orang tergelitik. Inilah yang dimaksudkan "logika terbalik". Sesuatu yang tampak serius, ”angker” atau bahkan elit, di kolom-kolom justru diresponnya hanya dengan tertawa. Di sini Butet seperti ingin mengajak pembaca menghampiri setiap masalah dengan cara yang terbalik. Ia seperti ingin berkata, buat apa susah-susah merunyamkan pikiran hanya karena memikirkan persoalan yang sudah terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja dengan senyum. Buat apa mengerutkan dahi karena melihat kesedihan yang terlampau menyedihkan, lebih baik tertawa saja agar kesedihan itu lebih dapat dapat terobati.***

(ulas-buku.blogspot.com)
Baca Selengkapnya Di Sini »»

Saturday, August 29, 2009

Resensi Buku: Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki


Judul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Terbit : Juni, 2007

Siapa tidak mengenal Emha Ainun Nadjib. Lelaki ini terbilang produktif dalam menulis. Tulisannya ada yang berupa puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu berbagai persoalan dibedahnya, mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, sastra, kebudayaan, kebangsaan, sampai agama. Itu pula yang dilakukannya lewat buku berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki ini.


Di dalam kumpulan esai ini Emha mengungkapkan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Ia yakin begitu banyak masalah dalam masyarakat yang nyata-nyata menuntut penyelesaian. Dalam pandangannya, jika persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, keterpurukan dan krisis bangsa Indonesia tidak akan pernah berakhir.
Persoalan-persoalan itu bagi Emha bukan sekadar sebuah gejala, tetapi telah menjadi potret buram yang terjadi dalam waktu lama. Buntutnya, diperlukan perubahan yang radikal agar bangsa Indonesia bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik kritik Emha yang tertuang dalam tulisannya.


Dalam kumpulan esai ini, Emha tampak mencoba menyodorkan realitas ke depan pembacanya. Ia mencoba menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran pembacanya. Tidak mengherankan jika pembaca sesekali akan berhenti membaca untuk

memberikan ruang kontemplasi, dan merenungkan apa yang sedang dibacanya. Hal ini dilakukan misalnya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyan retorik. Di sinilah salah satu kelebihan esai-esai yang ditulis oleh Emha.


Di samping itu, Emha kerap menggunakan idiom-idom yang diambil dari Al Quran sehingga nafas Islami dari sejumah esainya dapat dirasakan. Menariknya, meskipun begitu, esai-esai tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak menjadi tulisan-tulisan agama, walaupun nilai-nilai religius tetap mengalir di dalamnya. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Emha tetap dapat “dinikmati” oleh berbagai kalangan, bahkan lintas pemeluk agama.

Ke akar masalah
Esai-esai Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang tengah dibahas. Tetapi justru ia mengajak pembaca untuk secara perlahan menyelami akar masalah dari persoalan yang ada. Di sini pembaca seakan diajak untuk melihat setiap permasalah secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya (pluridimensional).

Hal di atas tampak misalnya ketika Emha berbicara soal terorisme yang memunculkan stereotip di kalangan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini diceritakan bagaimana Emha harus menjawab pertanyaan yang diajukan seputar terorisme dan pesantren. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pesantren, dengan nada menyejukkan Emha mengungkapkan bahwa orang-orang dari pesantren adalah kaum yang termarjinalkan. Lulusan pesantren sebagian besar menjadi kaum yang terlempar dari arus jaman. Lalu, yang tidak diperhatikan oleh banyak kalangan, keterpinggiran tersebut disertai dendam di punggung mereka dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ledakan api.


Harus diakui memang, tulisan-tulisan lelaki yang akrab dipanggil Cak Nun ini bukanlah tulisan yang dapat seketika dipahami. Namun diperlukan kearifan, kecermatan serta ketelitian dalam membacanya. Maklum saja, tulisan-tulisannya bukanlah berita sensasional tabloid hiburan yang dapat dinikmati secara instan.

Menyerahkan kepada pembaca
Emha sendiri di dalam esai-esainya tidak mencoba menggurui. Ia juga tidak tiba-tiba menjadi orang yang “maha tahu” dan mempunyai kapasitas untuk memberikan nilai pada sebuah keadaan, melainkan mencoba membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Mengenai penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan kepada pembaca.


Di dalam esai-esainya, Emha sering mengajak pembaca melihat realitas dengan cara tidak langsung. Ia seringkali masuk ke dalam persoalan lewat peristiwa tertentu atau bahkan cerita tertentu. Dari situ spektrumnya meluas dan menyusup ke hal-hal yang mendasar dan substansial.


Ketika Emha memperbincangkan soal goyang Inul Daratista misalnya, ia tidak hanya berhenti pada kontroversi goyang yang sempat menghebohkan itu, tetapi juga ia ingin menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Hal ini, menurut Emha, adalah disebabkan boleh latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyrakat itu sendiri. Misalnya saja, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tetapi jika dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal (Hal. 16).

Sebagai murid
Hal yang sama juga tampak saat Emha berbicara soal bencana Tsunami yang terjadi di tahun 2004 di Aceh. Di sini ia tidak melulu berbicara mengenai gempa secara teknis, tetapi ia justru menelaah peristiwa tersebut dari sisi spritual yang reflektif dan kontemplatif.


Hal lain yang menarik dari kumpulan tulisan ini, Emha mengingatkan bahwa tulisannya selalu bertolak pada tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bukan pada “karir” kepenulisannya. Tidak mengherankan jika kemudian Emha acap kali memosisikan diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisinya. Malah ia menempatkan diri sebagai “murid” dari masyarakat atau umat. Keegaliteran inilah yang membuat Emha selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.


Dalam buku yang tidak diberi pengantar, baik dari editor, penerbit maupun penulisnya sendiri ini, esai-esai Emha dikelompokkan menjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang banyak mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler yang menyoal ideologi negara dan kepemimpinan, Santri Teror yang membahas masalah santri dan alam pikiran para santri, Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk melihat berbagai kekacauan sikap budaya dan kemunafikan, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum marjinal, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang mencoba memaknai bencana yang melanda Indonesia.


Sayangnya, tidak semua esai dalam buku ini menyebutkan sumber tulisannya. Akibatnya, pembaca tidak pernah tahu konteks sesungguhnya dari tulisan-tulisan tersebut. Akan lebih membantu sebenarnya jika pembaca tahu sumber tulisan tersebut, misalnya, apakah esai tersebut pernah dimuat di sebuah harian, apakah esai tersebut merupakan makalah dalam sebuah seminar, atau memang tulisan-tulisan yang belum sempat diterbitkan. Sumber karangan, waktu ketika esai itu dibuat, dan konteks persoalan ketika esai itu dibuat, tentunya akan membantu pembaca memahami gagasan-gagsan Emha dan maksud dari tulisan-tulisannya.***

(ulas-buku.blogspot.com)
Baca Selengkapnya Di Sini »»